Tuesday 27 December 2011

Concept

I’ve been asked by many people about how did i create my fractals. This question is probably been asked by many people for so many times: “Did you have a concept in mind when you start to create your fractals?”. The answer is simple: yes, i do have a concept in my mind before i create my fractals. But what i mean by concept here is not a concept of something like what shapes i want to make, what colors i want to use, or any other plan about something i want to create like any other visual artist do with their art. The approach of having a concept in fractal creation is a bit different because we don’t really know what we gonna get by combining different kind of formula or variations, unless you know the math behind it. I didn’t have a deep knowledge about the math behind fractals and only know the basic. So, i have a different approach about what is a concept on my fractal creation.

When i want to create a fractal, i do have a concept in mind about what formula/variations that i’m gonna use, and i’m going to use that formula/variations as the main part of my fractal until i get something that i like. You probably say that you want to create something more than what you LIKE, but rather something that you WANT. Yes, that is also true, and i agree with that. But fractals is different than any other artform. We cannot guess what the image gonna look like when we use a varitions/formula, unless you know the math, just like i said before. So, for me, what i WANT is to keep using a formula/variations until i find something that i LIKE.

Yes it’s true that it’s not easy to use only small number of formula/variations on a single fractal. Fractal is about exploration. But exploration doesn’t meant to you didn’t have a goal or something you want to achieve. Exploration, for me is to abuse a variation/formula until there’s nothing else can be done with it. I can work on a single formula/variation for a very long time until i know exactly what those formula/variations can create. After that, i will try to combine it with another formula/variation and see what it’s gonna look like. Combining a formula/variations is not always a success for me. Sometimes it work perfectly. But sometimes the result didn’t come up right. But there’s a good point on failing on something: you know what’s work and what’s didn’t. And when you know something that work, you can create something you WANT, not only wander about looking for something you LIKE.

Like i said, it takes time to know what’s work and what’s didn’t. So, the key is to keep practicing, be patient, and keep your passion on fractaling. You might not always get a good or decent result for the first time, but don’t be sad and never give up. Everybody is a noob at a time. And who have the patience and passion, those who will be a better fractalist.

Monday 31 October 2011

Audiensi Bersama Tom Wilcox: Sebuah Ulasan

04.30 Dini hari waktu Indonesia, 31 Oktober 2011, atau 30 Oktober waktu amerika sana. Saya mendapat kesempatan untuk menjadi salah seorang panelis dalam sebuah acara talkshow online bersama seorang seniman fraktal senior. Senior dalam artian pengalaman dan juga umur. Ia adalah Tom Wilcox. Seniman berusia 67 tahun asal Wisconsin amerika serikat ini sudah sejak lama menggeluti kesenian fraktal sejak awal munculnya perangkat lunak fractint pada era ’80-an. 


Jujur saja, saya pun sebenarnya tidak terlalu mengenal secara mendalam siapa itu sosok Tom Wilcox, baik dari karyanya, maupun secara personal. Akan tetapi, yang membuat saya tertarik untuk menyetujui undangan sebagai seorang panelis dalam acara talkshow tersebut adalah beberapa buku berisi gambar-gambar fraktal Tom telah diterbitkan secara internasional. Selain itu, beliau juga memegan 20 hak paten dari berbagai macan jenis. Dalam halaman pribadinya di deviantART, beliau juga merupakan salah satu member senior, sekaligus menerima penghargaan Deviousness Award. Deviousness award merupakan sebuah penghargaan yang diberikan kepada member deviantART yang dinilai berkontribusi besar dalam mengembangkan komunitas yang digelutinya. Saya tidak tahu apa yang telah dilakukannya sehingga mendapatkan penghargaan tersebut. Ada dua kemungkinan mengapa saya tidak tahu, yang pertama adalah mungkin karena pada saat beliau menyumbangkan kontribusinya, saya belum aktif dalam komunitas fraktal, atau yang kedua adalah karena prestasinya di dunia nyata (dalam bentuk terbitan buku) lah yang membuatnya mendapatkan penghargaan tersebut. Adapun buku-buku yang pernah diterbitkannya pun saya belum pernah membacanya. Hal itu makin menambah rasa penasaran saya mengapa beliau bisa meraih prestasi sebegitu besar dalam usianya yang tidak bisa dikatakan muda.

Okey, ada beberapa hal yang saya baru ketahui pada saat acara tersebut berlangsung. Ada pula beberapa hal yang saya pelajari sebagai efek samping dari acara tersebut. Efek samping yang dimaksud disini adalah perbincangan yang kami (saya dan teman-teman fraktalis lainnya) lakukan di ruangan lain selain ruangan yang dipakai sebagai chatroom utama. Akan saya uraikan dalam bentuk poin agar saya dapat menjelaskannya dengan lebih fokus, dan pembaca (saya harap) dapat memahaminya dengan lebih mudah.

1)  Tom Wilcox pada 27 oktober ini tepat menginjak usia 67 tahun. Usia yang sudah cukup matang bagi seorang seniman. Akan tetapi, ia bukanlah seorang seniman biasa, melainkan seniman digital. Seni digital, sudah pasti harus dilakukan dengan menggunakan media digital, yaitu komputer. Di usianya yang sudah senja, Ia masih mampu dan bisa untuk mempelajari berbagai perangkat lunak pengkreasian fraktal yang notabene perkembangannya sangat pesat. Perangkat lunak pengkreasi fraktal paling baru saat ini adalah mandelbulb3D. Bagi sebagian orang, perangkat lunak ini memiliki desain antarmuka yang kurang bersahabat, termasuk bagi saya. Akan tetapi, dengan keuletan dan kemauannya untuk belajar, Tom Wilcox berhasil mempelajari bagaimana cara mengoperasikan perangkat lunak tersebut. Hal tersebut membuat saya terkagum. Sebagai seorang seniman sejati, umur bukanlah menjadi suatu alasan untuk tidak mempelajari hal-hal yang baru.

2) Tom Wilcox mengakui dirinya sebagai orang yang hanya dapat mengetik dengan menggunakan dua buah jari, masing-masing satu jari dari kedua tangannya. Hal ini dapat dimaklumi karena pada usianya yang uzur, tentu ia tidaklah aktif menggunakan media chatting sebagaimana sering dilakukan anak muda jaman sekarang. Dengan demikian kemampuan mengetik yang dimilikinya bisa dikatakan rendah. Untuk mengatasi kekurangannya tersebut, maka pada saat acara audiensi tersebut berlangsung, Tom ditemani oleh seorang asisten yang membantunya untuk mengetikkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Tanpa bantuan asistennya, maka ia tidak akan bisa mengetikkan jawaban dengan cepat.

Nah, sekarang coba pikirkan. Seorang seniman berusia 67 tahun, menggeluti bidang seni digital. Hanya memiliki kemampuan mengetik dengan menggunakan dua jari. Bagaimana ia tetap produktif menghasilkan karyanya? Saya merenungkannya cukup lama dan hanya muncul satu kata dalam pikiran saya: kesabaran. Ya, dengan kesabaran. Tom Wilcox, dengan keterbatasan dan passionnya yang besar terhadap seni digital, dibarengi dengan kesabaran dalam mengkreasikan karyanya, membuahkan hasil yang besar, yang dapat dibanggakan. Semuanya adalah buah dari kesabaran.

3)  Pada saat saya mendapatkan giliran untuk melontarkan pertanyaan, pertanyaan yang saya ajukan adalah “apa arti dari karya-karya anda bagi anda sendiri?” (tentu saja saya menggunakan bahasa inggris :p). Selang beberapa waktu ia menjawab, kira-kira begini jawabannya jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia: 

 Jika saya menyukai suatu hal maka saya juga ingin orang lain menyukainya. Adalah munafik seorang seniman yang berkata bahwa ia membuat karya untuk dirinya sendiri, dan kemudian mempublikasikannya. Anda mempublikasikan karya anda karena anda ingin karya anda dinikmati oleh orang lain. Disukai oleh orang lain. Maka dalam berkarya, saya tidak berkarya untuk membuat senang diri saya sendiri. Saya berkarya agar dapat membuat orang lain yang melihat karya saya juga turut merasakan senang, sebagaimana saya senang terhadap karya tersebut.

4)   Salah satu efek samping seperti yang sudah saya ungkapkan di atas adalah terjadinya sebuah perbincangan menarik antara kami, sebagai sebuah komunitas. Dalam perbincangan sampingan tersebut, kami berbicara tentang bagaimana kondisi komunitas fraktal pada generasi pertama dan generasi sekarang, generasi kedua. Mengapa ada pembagian generasi dalam komunitas fraktal mungkin pembaca sedikit bertanya-tanya.

Memang, tidak ada kesepakatan tertulis mengenai hal tersebut. Saya lah yang membuat penggenerasian tersebut. Saya, sebagai orang yang masuk komunitas fraktal pada masa peralihan antara generasi pertama dan generasi kedua, merasakan bagaimana keadaan status quo. Kekosongan kekuasaan. Ketiadaan pemimpin dalam sebuah komunitas. Dimana generasi pertama masih berusaha untuk mengais-ngais sisa kejayaannya, sedangkan generasi baru sudah menggeliat ingin menunjukkan kemampuannya.

Lalu mengapa generasi pertama bisa habis? Memang, tidak semua orang dari generasi pertama pergi meninggalkan fraktal. Ada sebagian yang bisa tetap bertahan menghadapi drama yang terjadi, dan sampai saat ini masih aktif dalam seni fraktal dan menjadi panutan. Sedangkan sebagian yang lain memilih untuk pergi meninggalkan fraktal. Kehancuran mereka, disebabkan oleh karena keogoisan mereka sendiri. Memang, ketika itu mereka masih dalam usia yang muda. Masih dalam usia belasan tahun, mungkin setingkat SMA. Emosi yang meledak-ledak digabung dengan kekuasaan yang besar memang bukan suatu kombinasi yang baik. Akibatnya, mereka tidak bisa mengontrol egonya masing-masing. Salah satu dari generasi pertama yang ikut dalam perbincangan tadi pagi adalah Penny5775. Ia berkata, 
"Sebuah komunitas adalah cerminan dari keadaan pemimpinnya. Jika pemimpinnya baik, maka baik pula lah komunitas tersebut. Jika pemimpinnya jelek, maka rusaklah komunitas tersebut."
Ini, memang adalah sebuah konsep yang sangat mendasar. Akan tetapi konsep dasar ini sering dilupakan banyak orang dan berakibat fatal bagi mereka dan orang di sekitarnya.

Demikian itu tadi secuplik ulasan saya tentang acara audiensi bersama Tom Wilcox. Sangat disayangkan bahwa para panelis tidak bisa mengajukan semua pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya karena berbagai macam keterbatasan yang ada. Akan tetapi, dari acara tersebut saya banyak mengambil pelajaran, baik dari pihak penyelenggara, dari narasumber, maupun dari perbincangan sampingan yang terjadi.

Jika pembaca ingin mengetahui apa saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para panelis secara lengkap dalam acara tersebut, akan tersedia chat log yang sedang disiapkan oleh penyelenggara dan akan dipublikasikan dalam waktu dekat (update akan saya beritahukan dalam blog ini juga).

Demikian dari saya, semoga bermanfaat bagi para pembaca. :)

Wednesday 21 September 2011

cerita yang dulu

Sedari awal juga seharusnya sudah saya sadari bahwa seharusnya saya ini bergaul dengan orang-orang dari kalangan seni, bukan desain. Mengapanya saat ini saya bergaul dengan orang desain adalah karena pada awalnya merakalah yang memperkenalkan saya pada dunia visual tak bergerak. Adalah Ariana Luberto Fauzi dengan kuliahnya yang mengambil jurusan multimedia, telah membawa saya untuk membaca-baca buku pelajarannya. Perkenalan dengan perangkat lunak pengolahan foto telah membuat saya mengeksplorasi berbagai macam tools dan melakukan berbagai macam percobaan dengan gambar dan berbagai visualisasi.

Lalu kemudian datanglah saat dimana saya melihat kawan saya itu dalam mata kuliahnya diharuskan untuk menggambar. Ya, betul. Menggambar, dimana saya tidak bisa untuk menggambar. Tangan saya ini tidak samapai hati untuk bergerak lunglai mengikuti kemauan kepala saya dan otak di dalamnya. Tangan saya tidak bisa menari dengan lepas di atas lembaran kertas gambar. Dulu, dan sampai sekarang, saya pun pernah menarikan jari-jari ini di atas kertas, tapi tidak untuk menggambar dan untuk menulis. Dan itu adalah sudah biasa bagi saya. Namun ketika dihadapi pada kenyataan bahwa gambar saya tidaklah lebih baik daripada gambaran anak kelas SMP, maka saya sadari bahwa saya bukanlah ahli di bidangnya.

Sampai suatu saat saya menemukan apa itu yang dinamakan fraktal. Dimana pergerakan tangan bukanlah lagi suatu hambatan. Dimana tombol-tombol adalah tinta dan tetikus adalah pena. Dimana angka dan persamaan adalah imajinasi, dan abstrak adalah kepastian yang sesungguhnya. Dimana saya menemukan apa itu yang dinamakan kebebasan. Apa itu yang dinamakan berekspresi sesungguhnya.

Dan pergelutan dengan sebuah komunitas di dunia maya adalah sebuah efek samping dari sebuah kegiatan yang memang berawal dari sana. Kami berbicara dan berbicara hanya tentang fraktal dan lain sebagainya. Di dunia maya. Dan di dunia maya, dimana yang dinamakan negara adalah negara dunia, satu dunia, tidak ada lagi batasan jarak dan lokasi. Dimana berkumpul semua orang dengan hobi yang sama, tanpa halangan bahasa.

Dalam sekian lama tersebut, tidak dapat dipungkiri, makin banyak saya mengenal orang lain, dan sebaliknya. Semakin banyak saya mengenal orang, dan juga berbagai karakter mereka. Semakin banyak saya tahu tentang berbagai teknik dan cara, berbagai macam gaya dan komposisi. Dan semakin banyak saya tahu semua itu, maka semakin besar pula diri ini merasa saya harus diam dan tidak perlu berkata yang macam-macam. Bukan, bukan karena saya tidak ingin berbagi, tapi diam karena diri yang merasa kecil, dimana semakin saya banyak tahu, semakin saya menyadari bahwa saya tidaklah tahu apa-apa.

Lalu bagaimana dengan di dunia nyata? Dunia yang sebenarnya kita hidupi? Apakah saya berkumpul dengan para pencinta fraktal? Yang bisa saya jawab adalah bahwa sampai hari ini saya belum pernah bertemu muka dengan seseorang yang mempunyai hasrat yang sama di bidang fraktal. Memang, ada beberapa orang indonesia yang saya kenal di dunia maya yang juga bergelut di bidang fraktal, akan tetapi belum, belum pernah saya bertatap muka dengan mereka.

Lalu, apa lagi yang saya mau sampaikan saya jadi lupa karena tadi datang Faqih yang mengajak berdiskusi. Nanti lah saya sambung lagi kalau saya inget.

Saturday 17 September 2011

Batik dan fraktal di mata saya

Batik, merupakan gabungan dari dua buah kata dalam bahasa jawa, yaitu amba, yang artinya menulis, dan titik. Jadi, dalam sebuah artian, batik adalah menggambar dengan menggunakan titik. Secara luas, batik adalah sebuah teknik pewarnaan kain dengan melakukan penutupan pada sebagian tertentu dari kain yang nantinya diberikan warna. Penutupan ini dilakukan untuk menghindari bagian tersebut dari terkena pewarnaan. Hasil tutupan lilin tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu pola atau motif.

Teknik pewarnaan kain ini dikenal di berbagai kebudayaan, mulai dari kebudayaan Indonesia, hingga ke mancanegara. Di Indonesia, teknik membatik ini mempunyai pola/motif yang berbeda-beda pada tiap-tiap daerah, sehingga mencirikan daerah tersebut.

Di lain pihak, fraktal adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan atas dasar rasa penasaran orang untuk dapat mendefinisikan hal-hal alamiah yang sebelumnya tidak dapat didefinisikan, contohnya pertumbuhan cabang pohon, pertumbuhan kristal, geometri awan, dan lain sebagainya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu fraktal, maka muncul pula lah suatu gerakan kesenian yang menggunakan fraktal sebagai dasarnya. Gerakan kesenian ini diawali dengan ditemukannya set Mandelbrot yang merupakan plot bilangan kompleks, dimana plot tersebut menghasilkan gambar yang memiliki luasan terbatas, dengan panjang keliling yang tidak terbatas.

Beberapa tahun ke belakang, khususnya di Indonesia, mulai santer terdengar sebuah istilah baru yang menggabungkan kedua buah terminologi yang saya bahas di atas, yaitu batik fraktal. Apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan batik fraktal adalah kain yang dihiasi dengan motif yang mana motif-motif tersebut dihasilkan dari proses komputasi fraktal.

Batik fraktal mulai ramai terdengar semenjak dilakukannya penelitian oleh Tim dari Bandung Fe Institute yang ingin membuktikan bahwasannya batik di Indonesia adalah merupakan fraktal. Caranya adalah dengan membuat suatu algoritma pemrograman yang dapat membaca besarnya dimensi dari sebuah bentukan geometri. Secara umum, benda-benda yang kita jumpai sehari-hari adalah benda yang memiliki dimensi berupa bilangan bulat: 1 dimensi, 2 dimensi, dan 3 dimensi. Sedangkan berdasarkan teori dalam ilmu fraktal, sebuah bentukan geometri tidak harus selalu memiliki dimensi berupa bilangan bulat, akan tetapi juga dapat berupa pecahan, contohnya 2,3 Dimensi, 1,4 dimensi, 3,6 dimensi, dan lain sebagainya. Algoritma pemrograman tersebut dibuat untuk dapat membaca dimensi dari sebuah bentukan geometri. Saat algroitma tersebut diberikan masukan berupa motif batik indonesia, ternyata didapati bahwa dimensi dari motif tersebut merupakan bilangan pecahan. Hal ini menandakan bahwasannya batik adalah juga merupakan fraktal (jika dilihat dari dimensi geometrinya).

Mulai dari situlah, mulai banyak yang berusaha untuk melakukan pembuatan algortitma yang dapat mereproduksi pola motif batik nusantara dengan menggunakan metode komputasi matematik. Hasil yang didapatkan cukup mengejutkan, karena ternyata banyak pola batik nusantara yang dapat direproduksi ulang dengan menggunakan algoritma matematika, contohnya adalah batik garudaan, batik mega mendung, parang rusak, dan lain sebagainya. Dengan keberhasilan tersebut di atas, maka batik fraktal telah dapat menjangkau telinga masyarakat luas, khususnya di Indonesia.

Atas keberhasilan itu, saya turut senang. Namun, sebagaimana orang Indonesia kebanyakan, saya akan punya “akan tetapi” punya saya sendiri, yaitu saya adalah dia yang tidak suka jika ada pengkait-kaitan antara batik dan fraktal. Dimana fraktal dan batik adalah dua buah hal yang berbeda. Pernyataan ini saya ambil dengan memegang teguh terminologi dasar dari kata batik dan fraktal, dimana batik adalah proses pewarnaan kain, dan fraktal adalah pembuatan pola dengan menggunakan komputasi algoritma matematik. Batik, bukanlah berkaitan dengan suatu pola. Adapun mega mendung, parang rusak, garudaan, dan lain sebagainya, itu adalah bukan batik, melainkan pola. Pola yang digambarkan di atas kain dengan menggunakan teknik batik.

Sebagai seorang yang menggunakan fraktal sebagai media keseniannya (bahkan sebelum istilah batik fraktal muncul), banyak yang menanyakan kepada saya: kenapa anda tidak memproduksi batik fraktal? Padahal banyak dari karya anda yang bila diproduksi sebagai produk tekstil akan menghasilkan sebuah pola yang bagus dikarenakan kemiripannya dengan batik.

Jawaban saya adalah: Tidak. Dan saya, sampai kapanpun tidak akan setuju dengan apa yang disebut dengan batik fraktal. Orang lain boleh berkata bahwa mereka telah berhasil mereproduksi motif batik dengan menggunakan fraktal. Tapi fraktal saya bukanlah batik. Dan akan selama-lamanya bukan batik. Fraktal saya adalah fraktal. Lainnya tidak. Jika anda berkata fraktal saya menyerupai pola batik, saya akan melarang anda untuk beranggapan seperti itu, meskipun saya adalah seniman, dan bukan desainer. Saya tidak akan membiarkan anda melakukan interpretasi batik terhadap fraktal saya. Lainnya? Silahkan. Batik tidak.

Tidak. Bukannya saya merendahkan nilai dari sebuah batik, karena batik adalah kebudayaan nusantara yang saya bangga padanya karena ia adalah iya. Dan di mata dan pikiran saya, batik adalah batik dan tidak akan pernah ada itu yang namanya batik fraktal. Kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda dan tidak akan pernah menjadi satu. Setidaknya di mata dan pikiran saya.