Wednesday 21 September 2011

cerita yang dulu

Sedari awal juga seharusnya sudah saya sadari bahwa seharusnya saya ini bergaul dengan orang-orang dari kalangan seni, bukan desain. Mengapanya saat ini saya bergaul dengan orang desain adalah karena pada awalnya merakalah yang memperkenalkan saya pada dunia visual tak bergerak. Adalah Ariana Luberto Fauzi dengan kuliahnya yang mengambil jurusan multimedia, telah membawa saya untuk membaca-baca buku pelajarannya. Perkenalan dengan perangkat lunak pengolahan foto telah membuat saya mengeksplorasi berbagai macam tools dan melakukan berbagai macam percobaan dengan gambar dan berbagai visualisasi.

Lalu kemudian datanglah saat dimana saya melihat kawan saya itu dalam mata kuliahnya diharuskan untuk menggambar. Ya, betul. Menggambar, dimana saya tidak bisa untuk menggambar. Tangan saya ini tidak samapai hati untuk bergerak lunglai mengikuti kemauan kepala saya dan otak di dalamnya. Tangan saya tidak bisa menari dengan lepas di atas lembaran kertas gambar. Dulu, dan sampai sekarang, saya pun pernah menarikan jari-jari ini di atas kertas, tapi tidak untuk menggambar dan untuk menulis. Dan itu adalah sudah biasa bagi saya. Namun ketika dihadapi pada kenyataan bahwa gambar saya tidaklah lebih baik daripada gambaran anak kelas SMP, maka saya sadari bahwa saya bukanlah ahli di bidangnya.

Sampai suatu saat saya menemukan apa itu yang dinamakan fraktal. Dimana pergerakan tangan bukanlah lagi suatu hambatan. Dimana tombol-tombol adalah tinta dan tetikus adalah pena. Dimana angka dan persamaan adalah imajinasi, dan abstrak adalah kepastian yang sesungguhnya. Dimana saya menemukan apa itu yang dinamakan kebebasan. Apa itu yang dinamakan berekspresi sesungguhnya.

Dan pergelutan dengan sebuah komunitas di dunia maya adalah sebuah efek samping dari sebuah kegiatan yang memang berawal dari sana. Kami berbicara dan berbicara hanya tentang fraktal dan lain sebagainya. Di dunia maya. Dan di dunia maya, dimana yang dinamakan negara adalah negara dunia, satu dunia, tidak ada lagi batasan jarak dan lokasi. Dimana berkumpul semua orang dengan hobi yang sama, tanpa halangan bahasa.

Dalam sekian lama tersebut, tidak dapat dipungkiri, makin banyak saya mengenal orang lain, dan sebaliknya. Semakin banyak saya mengenal orang, dan juga berbagai karakter mereka. Semakin banyak saya tahu tentang berbagai teknik dan cara, berbagai macam gaya dan komposisi. Dan semakin banyak saya tahu semua itu, maka semakin besar pula diri ini merasa saya harus diam dan tidak perlu berkata yang macam-macam. Bukan, bukan karena saya tidak ingin berbagi, tapi diam karena diri yang merasa kecil, dimana semakin saya banyak tahu, semakin saya menyadari bahwa saya tidaklah tahu apa-apa.

Lalu bagaimana dengan di dunia nyata? Dunia yang sebenarnya kita hidupi? Apakah saya berkumpul dengan para pencinta fraktal? Yang bisa saya jawab adalah bahwa sampai hari ini saya belum pernah bertemu muka dengan seseorang yang mempunyai hasrat yang sama di bidang fraktal. Memang, ada beberapa orang indonesia yang saya kenal di dunia maya yang juga bergelut di bidang fraktal, akan tetapi belum, belum pernah saya bertatap muka dengan mereka.

Lalu, apa lagi yang saya mau sampaikan saya jadi lupa karena tadi datang Faqih yang mengajak berdiskusi. Nanti lah saya sambung lagi kalau saya inget.

Saturday 17 September 2011

Batik dan fraktal di mata saya

Batik, merupakan gabungan dari dua buah kata dalam bahasa jawa, yaitu amba, yang artinya menulis, dan titik. Jadi, dalam sebuah artian, batik adalah menggambar dengan menggunakan titik. Secara luas, batik adalah sebuah teknik pewarnaan kain dengan melakukan penutupan pada sebagian tertentu dari kain yang nantinya diberikan warna. Penutupan ini dilakukan untuk menghindari bagian tersebut dari terkena pewarnaan. Hasil tutupan lilin tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu pola atau motif.

Teknik pewarnaan kain ini dikenal di berbagai kebudayaan, mulai dari kebudayaan Indonesia, hingga ke mancanegara. Di Indonesia, teknik membatik ini mempunyai pola/motif yang berbeda-beda pada tiap-tiap daerah, sehingga mencirikan daerah tersebut.

Di lain pihak, fraktal adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan atas dasar rasa penasaran orang untuk dapat mendefinisikan hal-hal alamiah yang sebelumnya tidak dapat didefinisikan, contohnya pertumbuhan cabang pohon, pertumbuhan kristal, geometri awan, dan lain sebagainya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu fraktal, maka muncul pula lah suatu gerakan kesenian yang menggunakan fraktal sebagai dasarnya. Gerakan kesenian ini diawali dengan ditemukannya set Mandelbrot yang merupakan plot bilangan kompleks, dimana plot tersebut menghasilkan gambar yang memiliki luasan terbatas, dengan panjang keliling yang tidak terbatas.

Beberapa tahun ke belakang, khususnya di Indonesia, mulai santer terdengar sebuah istilah baru yang menggabungkan kedua buah terminologi yang saya bahas di atas, yaitu batik fraktal. Apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan batik fraktal adalah kain yang dihiasi dengan motif yang mana motif-motif tersebut dihasilkan dari proses komputasi fraktal.

Batik fraktal mulai ramai terdengar semenjak dilakukannya penelitian oleh Tim dari Bandung Fe Institute yang ingin membuktikan bahwasannya batik di Indonesia adalah merupakan fraktal. Caranya adalah dengan membuat suatu algoritma pemrograman yang dapat membaca besarnya dimensi dari sebuah bentukan geometri. Secara umum, benda-benda yang kita jumpai sehari-hari adalah benda yang memiliki dimensi berupa bilangan bulat: 1 dimensi, 2 dimensi, dan 3 dimensi. Sedangkan berdasarkan teori dalam ilmu fraktal, sebuah bentukan geometri tidak harus selalu memiliki dimensi berupa bilangan bulat, akan tetapi juga dapat berupa pecahan, contohnya 2,3 Dimensi, 1,4 dimensi, 3,6 dimensi, dan lain sebagainya. Algoritma pemrograman tersebut dibuat untuk dapat membaca dimensi dari sebuah bentukan geometri. Saat algroitma tersebut diberikan masukan berupa motif batik indonesia, ternyata didapati bahwa dimensi dari motif tersebut merupakan bilangan pecahan. Hal ini menandakan bahwasannya batik adalah juga merupakan fraktal (jika dilihat dari dimensi geometrinya).

Mulai dari situlah, mulai banyak yang berusaha untuk melakukan pembuatan algortitma yang dapat mereproduksi pola motif batik nusantara dengan menggunakan metode komputasi matematik. Hasil yang didapatkan cukup mengejutkan, karena ternyata banyak pola batik nusantara yang dapat direproduksi ulang dengan menggunakan algoritma matematika, contohnya adalah batik garudaan, batik mega mendung, parang rusak, dan lain sebagainya. Dengan keberhasilan tersebut di atas, maka batik fraktal telah dapat menjangkau telinga masyarakat luas, khususnya di Indonesia.

Atas keberhasilan itu, saya turut senang. Namun, sebagaimana orang Indonesia kebanyakan, saya akan punya “akan tetapi” punya saya sendiri, yaitu saya adalah dia yang tidak suka jika ada pengkait-kaitan antara batik dan fraktal. Dimana fraktal dan batik adalah dua buah hal yang berbeda. Pernyataan ini saya ambil dengan memegang teguh terminologi dasar dari kata batik dan fraktal, dimana batik adalah proses pewarnaan kain, dan fraktal adalah pembuatan pola dengan menggunakan komputasi algoritma matematik. Batik, bukanlah berkaitan dengan suatu pola. Adapun mega mendung, parang rusak, garudaan, dan lain sebagainya, itu adalah bukan batik, melainkan pola. Pola yang digambarkan di atas kain dengan menggunakan teknik batik.

Sebagai seorang yang menggunakan fraktal sebagai media keseniannya (bahkan sebelum istilah batik fraktal muncul), banyak yang menanyakan kepada saya: kenapa anda tidak memproduksi batik fraktal? Padahal banyak dari karya anda yang bila diproduksi sebagai produk tekstil akan menghasilkan sebuah pola yang bagus dikarenakan kemiripannya dengan batik.

Jawaban saya adalah: Tidak. Dan saya, sampai kapanpun tidak akan setuju dengan apa yang disebut dengan batik fraktal. Orang lain boleh berkata bahwa mereka telah berhasil mereproduksi motif batik dengan menggunakan fraktal. Tapi fraktal saya bukanlah batik. Dan akan selama-lamanya bukan batik. Fraktal saya adalah fraktal. Lainnya tidak. Jika anda berkata fraktal saya menyerupai pola batik, saya akan melarang anda untuk beranggapan seperti itu, meskipun saya adalah seniman, dan bukan desainer. Saya tidak akan membiarkan anda melakukan interpretasi batik terhadap fraktal saya. Lainnya? Silahkan. Batik tidak.

Tidak. Bukannya saya merendahkan nilai dari sebuah batik, karena batik adalah kebudayaan nusantara yang saya bangga padanya karena ia adalah iya. Dan di mata dan pikiran saya, batik adalah batik dan tidak akan pernah ada itu yang namanya batik fraktal. Kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda dan tidak akan pernah menjadi satu. Setidaknya di mata dan pikiran saya.