Saturday 17 September 2011

Batik dan fraktal di mata saya

Batik, merupakan gabungan dari dua buah kata dalam bahasa jawa, yaitu amba, yang artinya menulis, dan titik. Jadi, dalam sebuah artian, batik adalah menggambar dengan menggunakan titik. Secara luas, batik adalah sebuah teknik pewarnaan kain dengan melakukan penutupan pada sebagian tertentu dari kain yang nantinya diberikan warna. Penutupan ini dilakukan untuk menghindari bagian tersebut dari terkena pewarnaan. Hasil tutupan lilin tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu pola atau motif.

Teknik pewarnaan kain ini dikenal di berbagai kebudayaan, mulai dari kebudayaan Indonesia, hingga ke mancanegara. Di Indonesia, teknik membatik ini mempunyai pola/motif yang berbeda-beda pada tiap-tiap daerah, sehingga mencirikan daerah tersebut.

Di lain pihak, fraktal adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan atas dasar rasa penasaran orang untuk dapat mendefinisikan hal-hal alamiah yang sebelumnya tidak dapat didefinisikan, contohnya pertumbuhan cabang pohon, pertumbuhan kristal, geometri awan, dan lain sebagainya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu fraktal, maka muncul pula lah suatu gerakan kesenian yang menggunakan fraktal sebagai dasarnya. Gerakan kesenian ini diawali dengan ditemukannya set Mandelbrot yang merupakan plot bilangan kompleks, dimana plot tersebut menghasilkan gambar yang memiliki luasan terbatas, dengan panjang keliling yang tidak terbatas.

Beberapa tahun ke belakang, khususnya di Indonesia, mulai santer terdengar sebuah istilah baru yang menggabungkan kedua buah terminologi yang saya bahas di atas, yaitu batik fraktal. Apa yang dimaksudkan oleh mereka dengan batik fraktal adalah kain yang dihiasi dengan motif yang mana motif-motif tersebut dihasilkan dari proses komputasi fraktal.

Batik fraktal mulai ramai terdengar semenjak dilakukannya penelitian oleh Tim dari Bandung Fe Institute yang ingin membuktikan bahwasannya batik di Indonesia adalah merupakan fraktal. Caranya adalah dengan membuat suatu algoritma pemrograman yang dapat membaca besarnya dimensi dari sebuah bentukan geometri. Secara umum, benda-benda yang kita jumpai sehari-hari adalah benda yang memiliki dimensi berupa bilangan bulat: 1 dimensi, 2 dimensi, dan 3 dimensi. Sedangkan berdasarkan teori dalam ilmu fraktal, sebuah bentukan geometri tidak harus selalu memiliki dimensi berupa bilangan bulat, akan tetapi juga dapat berupa pecahan, contohnya 2,3 Dimensi, 1,4 dimensi, 3,6 dimensi, dan lain sebagainya. Algoritma pemrograman tersebut dibuat untuk dapat membaca dimensi dari sebuah bentukan geometri. Saat algroitma tersebut diberikan masukan berupa motif batik indonesia, ternyata didapati bahwa dimensi dari motif tersebut merupakan bilangan pecahan. Hal ini menandakan bahwasannya batik adalah juga merupakan fraktal (jika dilihat dari dimensi geometrinya).

Mulai dari situlah, mulai banyak yang berusaha untuk melakukan pembuatan algortitma yang dapat mereproduksi pola motif batik nusantara dengan menggunakan metode komputasi matematik. Hasil yang didapatkan cukup mengejutkan, karena ternyata banyak pola batik nusantara yang dapat direproduksi ulang dengan menggunakan algoritma matematika, contohnya adalah batik garudaan, batik mega mendung, parang rusak, dan lain sebagainya. Dengan keberhasilan tersebut di atas, maka batik fraktal telah dapat menjangkau telinga masyarakat luas, khususnya di Indonesia.

Atas keberhasilan itu, saya turut senang. Namun, sebagaimana orang Indonesia kebanyakan, saya akan punya “akan tetapi” punya saya sendiri, yaitu saya adalah dia yang tidak suka jika ada pengkait-kaitan antara batik dan fraktal. Dimana fraktal dan batik adalah dua buah hal yang berbeda. Pernyataan ini saya ambil dengan memegang teguh terminologi dasar dari kata batik dan fraktal, dimana batik adalah proses pewarnaan kain, dan fraktal adalah pembuatan pola dengan menggunakan komputasi algoritma matematik. Batik, bukanlah berkaitan dengan suatu pola. Adapun mega mendung, parang rusak, garudaan, dan lain sebagainya, itu adalah bukan batik, melainkan pola. Pola yang digambarkan di atas kain dengan menggunakan teknik batik.

Sebagai seorang yang menggunakan fraktal sebagai media keseniannya (bahkan sebelum istilah batik fraktal muncul), banyak yang menanyakan kepada saya: kenapa anda tidak memproduksi batik fraktal? Padahal banyak dari karya anda yang bila diproduksi sebagai produk tekstil akan menghasilkan sebuah pola yang bagus dikarenakan kemiripannya dengan batik.

Jawaban saya adalah: Tidak. Dan saya, sampai kapanpun tidak akan setuju dengan apa yang disebut dengan batik fraktal. Orang lain boleh berkata bahwa mereka telah berhasil mereproduksi motif batik dengan menggunakan fraktal. Tapi fraktal saya bukanlah batik. Dan akan selama-lamanya bukan batik. Fraktal saya adalah fraktal. Lainnya tidak. Jika anda berkata fraktal saya menyerupai pola batik, saya akan melarang anda untuk beranggapan seperti itu, meskipun saya adalah seniman, dan bukan desainer. Saya tidak akan membiarkan anda melakukan interpretasi batik terhadap fraktal saya. Lainnya? Silahkan. Batik tidak.

Tidak. Bukannya saya merendahkan nilai dari sebuah batik, karena batik adalah kebudayaan nusantara yang saya bangga padanya karena ia adalah iya. Dan di mata dan pikiran saya, batik adalah batik dan tidak akan pernah ada itu yang namanya batik fraktal. Kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda dan tidak akan pernah menjadi satu. Setidaknya di mata dan pikiran saya.

No comments:

Post a Comment